Rabu, 15 Oktober 2008

Suatu Kajian Sejarah, Sosiologi, & Filsafat

A. Latar Belakang Masalah

Manusia tidak dapat lepas dari lingkungan sekitarnya. Sejak lahir manusia mengalami ketergantungan terhadap lingkungan sekitarnya. Manusia mempunyai keinginan untuk senantiasa berinteraksi dengan lingkungannya. Sifat seperti ini tidak hanya timbul sebagai warisan sosial, tetapi juga muncul disebabkan atas warisan biologis dan nalurinya untuk mempertahankan hidup. Manusia sebagai makhluk berakal kemudian mengembangkan berbagai cara untuk mempertahankan serta meningkatkan eksistensi dirinya melalui penetapan suatu pola perilaku dan pembuatan karya-karya kebendaan.

Suatu kebudayaan haruslah dihasilkan oleh suatu masyarakat, dan tidak ada satupun masyarakat di dunia ini yang tidak memiliki kebudayaan. Tidak ada kebudayaan yang lepas dari masyarakat dan tidak ada masyarakat yang lepas dari kebudayaan. Kebudayaan bukanlah sesuatu yang dibawa dari lahir, melainkan sesuatu yang merupakan hasil belajar dari masyarakat disekeliling. Kebudayaan merupakan suatu adaptasi non-biologis manusia terhadap lingkungan dimana manusia itu berada.

Perubahan akan selalu terjadi dari masa ke masa. Perubahan ini terjadi terus menerus tanpa dapat dihindari. Pada masa sekarang ini nampak jelas sekali bahwa angin perubahan bertiup demikian kencangnya dan angin perubahan itu tentu saja membawa sesuatu yang baru. Masa modern sekarang ini tidak ada yang boleh berpangku tangan dan duduk diam menunggu karena segala sesuatu berkembang dengan pesatnya. Pada zaman ini segala batas-batas geografis menjadi tidak berarti lagi, karena zaman ini adalah zaman globalisasi segala sesuatu sangat mudah sekali diketahui. Manusia dapat mengetahui banyak hal yang terjadi di berbagai belahan dunia tanpa perlu melangkahkan kakinya keluar rumah. Ada suatu ungkapan bahwa : “Satu – satunya yang tidak berubah adalah perubahan itu sendiri”. Manusia sebagai subjek dan sekaligus objek dari perubahan itu tentu harus menyikapi perubahan itu dengan bijak. Manusia dalam hidup memang harus berubah, tetapi jangan ditenggelamkan oleh perubahan.

Salah satu ciri pokok dari kebudayaan adalah dinamis (berubah-ubah). Kedinamisan kebudayaan ini disebabkan oleh kedinamisan yang ada pada masyarakat tempat kebudayaan itu berada. Globalisasi telah menimbulkan dampak yang sangat berarti dalam berbagai dimensi kehidupan manusia. Globalisasi merupakan proses internasionalisasi seluruh tatanan masyarakat modern. Awalnya proses ini hanya pada tataran ekonomi, namun dalam perkembangannya cenderung menunjukkan keragaman.

Malcolm Waters mengemukakan bahwa ada tiga dimensi proses globalisasi, yaitu: globalisasi ekonomi, globalisasi politik, dan globalisasi budaya. Segi dimensi globalisasi budaya, memunculkan beberapa jenis space atau lukisan, seperti: etnospace, technospace, financespace, mediaspace, ideaspace, dan sacrispace. Universalisasi sistem nilai gobal yang terjadi dalam dimensi kebudayaan telah mengaburkan sistem nilai (values system) kehidupan manusia, khususnya pada negara-negara berkembang seperti Indonesia dalam menghadapi berbagai budaya yang datang dari luar. Local genius yang pada zaman dahulu sangat dibanggakan sebagai filterisasi kebudayaan terhadap kebudayaan asing ternyata pada zaman sekarang menjadi kehilangan eksistensinya.

Pendidikan dapat dijadikan sebagai media untuk merubah kebudayaan, baik dalam artian merubahnya menjadi lebih “baik” atau merubahnya menjadi lebih “buruk”. Permasalahannya kini adalah pada pertanyaan “Bagaimanakah keadaan pendidikan di Indonesia ?”. Bagi bangsa yang ingin maju, pendidikan merupakan sebuah kebutuhan. Sama dengan kebutuhan perumahan, sandang, dan pangan, bahkan pada beberapa bangsa (dalam cakupan yang luas) atau keluarga (dalam cakupan yang kecil), pendidikan merupakan kebutuhan utama. Artinya, terjadi pengurangan kualitas perumahan, pakaian, bahkan makanan, demi melaksanakan pendidikan.

Seharusnya di Indonesia hal demikian juga terjadi. Sebab bila suatu negara ingin cepat maju dan berhasil dalam pembangunan, prioritas pembangunan negara itu adalah pendidikan. Indonesia telah lebih dari 20 tahun melaksanakan Wajib Belajar Pendidikan Dasar 6 Tahun dan telah lebih 10 tahun melaksanakan Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun. Maksud dan tujuan pelaksanaan wajib belajar adalah memberikan pelayanan kepada anak bangsa untuk memasuki sekolah dengan biaya murah dan terjangkau oleh kemampuan masyarakat banyak. Apabila perlu, pendidikan dasar enam tahun seharusnya dapat diberikan pelayanan secara gratis karena dalam pendidikan dasar enam tahun atau sekolah dasar kebutuhan mendasar bagi warga negara mulai diberikan. Pada sekolah dasar inilah anak diberikan tiga kemampuan dasar, yaitu baca, tulis, dan hitung, serta dasar berbagai pengetahuan lain. Setiap wajib belajar pasti akan dimulai dari jenjang yang terendah, yaitu sekolah dasar.

Pada tataran formal Indonesia telah berusaha memberikan pendidikan murah untuk anak bangsanya. Semua warga negara, kaya atau miskin, diberi kesempatan yang sama untuk menikmati pendidikan dasar enam tahun yang biayanya dapat dijangkau golongan miskin. Pada kenyataannya yang terjadi adalah kebalikannya, semua jenjang sekolah negeri sudah menjadi lembaga komersialisasi, karena yang berbicara tidak lagi persyaratan-persyaratan yang ditentukan oleh kurikuler, tetapi justru besarnya biaya masuk untuk sekolah dasar. Jika untuk masuk sekolah dasar ditentukan oleh umur, maka seorang anak yang sudah berumur tujuh tahun atau lebih wajib diterima sebagai murid sekolah dasar. Ini adalah ketentuan yang tidak boleh ditawar karena ketentuan untuk masuk sekolah dasar adalah berdasarkan umur.

Pelaksanaan wajib belajar negeri adalah slogan yang selalu didengung-dengungkan. Kenyataannya di lapangan adalah pelaksanaan wajib belajar dihalang-halangi, karena untuk masuk sekolah dasar harus membayar mahal sehingga masyarakat miskin tidak mungkin dapat membayarnya. Bagi masyarakat dan orangtua yang kaya, anaknya akan dapat bersekolah di sekolah negeri, sedangkan yang miskin akan gagal dan tidak bersekolah. Untuk masuk ke sekolah swasta, masyarakat miskin tidak mungkin mampu membayarnya. Akibatnya, banyak anak bangsa yang tidak akan memperoleh kesempatan memperoleh pendidikan. Banyak anak akan menjadi buta huruf karena dililit kemiskinan dan negeri ini akan terpuruk karena kualitas sumber daya manusianya tidak mampu bersaing dengan negara-negara yang lain. Kebudayaan sebagai identitas bangsa ikut hilang seiring hilangnya generasi muda. Generasi muda tidak mendapat pendidikan yang layak sehingga terjadi “kebuntuan” dalam proses pewarisan kebudayaan.



B. Pembahasan Pendidikan & Kebudayaan

1. Kajian pendidikan & kebudayaan dalam perspektif sejarah

Sebagai bangsa jajahan sejak tiga-empat abad terakhir, budaya Indonesia adalah budaya bawahan yang menganggap budaya bangsa yang menjadi tuan penjajah sebagai cermin keunggulan. Hal itu menumbuhkan mentalitas bangsa jajahan, yang selalu merasa rendah diri bila berhadapan dengan kaki penguasanya. Pada masyarakat demikian, orang pribumi dianggap sebagai keset sepatu tuan penjajah. Sebagai penjajah, Belanda tidak langsung memeras bangsa pribumi. Belanda menggunakan para pemimpin tradisional pribumi sebagai alatnya. Para pemimpin tradisional pribumi, yang secara turun-temurun selalu menikmati kedudukan sebagai elite penguasa priayi yang selalu “ongkang-ongkang kaki” menikmati hasil kerja keras rakyat petani dan nelayan, menerima peran yang diberikan tuan penjajah dengan suka hati. Para pemimpin tradisional mendapat gaji dan persentase keuntungan dari harga hasil bumi yang dipaksa ditanam petani dan harus dijual kepada pemerintah dengan harga yang ditetapkan oleh pembeli. Sebagai produsen, petani kita tak berdaya menghadapi pembeli karena yang dihadapi adalah penguasanya sendiri. Sebagai rakyat kerajaan yang selalu patuh kepada raja, para petani menganggap jangankan hasil kerjanya, nyawa dan keluarganya pun milik sang raja.

Mentalitas elite penguasa pribumi itulah yang menyebabkan rakyat kita sengsara dalam kemiskinan luar biasa meski bekerja amat keras, sedangkan Belanda menangguk keuntungan ratusan juta gulden tiap tahun untuk kemakmuran negaranya yang jauh di benua utara. Mentalitas calo, broker, yang ingin hidup senang tanpa mengeluarkan keringat terpelihara dengan baik, bahkan sampai saat ini. Untuk memperkuat pengaruhnya terhadap rakyat petani yang diperasnya, elite penguasa pribumi mengangkat tukang-tukang pukul sebagai kaki tangannya. Para petani yang tidak patuh atau memperlihatkan gejala akan melawan dihadapi dengan kasar dan kejam oleh para tukang pukul itu. Bila para tukang pukul tidak mampu lagi, serdadu marsose dikerahkan. Itulah yang terjadi di Banten pada tahun 1888, terjadi di Jatitujuh dan daerah lain di Cirebon pada sekitar 1815, di Cimareme, Garut, pada tahun 1918, dan lain-lain.

Pemberontakan petani di Jawa, yang kerap terjadi pada abad ke-19 dan ke-20, mempunyai pola yang sama, yaitu para petani merasa tidak puas dengan ketentuan yang dikenakan terhadap mereka, mereka mengajukan usul, lalu protes, dan karena tidak digubris, mereka melawan. Saat memberontak, mereka dihadapi tentara profesional penjajah yang mempunyai senjata jauh lebih canggih. Pemberontakan seperti itu selalu berakhir dengan ditindasnya petani dan bukan hanya yang memberontak, tetapi juga petani yang dianggap bersimpati kepada pemberontak atau mempunyai hubungan darah dengan mereka.

Feodalisme di Eropa dikuasai kaum feodal, yaitu mereka yang memiliki tanah yang dikerjakan para petani. Para petani di wilayah tertentu, misalnya di Rusia, dianggap sebagai hamba sahaya yang bekerja untuk dan semua hasil pekerjaannya menjadi hak majikan. Hal ini lain dengan kaum feodal di Jawa, hidup mereka digaji Pemerintah Hindia Belanda, ditambah pendapatan dari persentase hasil tanaman rakyat yang dibeli pemerintah dengan harga rendah sekali. Artinya, mereka bukan orang yang memegang kekuasaan tertinggi dalam komunitasnya karena mereka hanya pegawai dari pemerintah yang mewakili kepentingan bangsa asing. Karena itu, mentalitas mereka adalah mentalitas calo, broker. Nilai-nilai kesatriaan yang membela kebenaran dan melindungi rakyat kecil dan sering dipuji-puji sebagai pegangan para priayi hanya ada dalam teks. Nilai-nilai yang diwariskan kepada generasi yang lebih muda pun dari kebudayaan feodal yang bermentalitas calo.

Status quo yang tertib dipertahankan dengan ajaran yang, misalnya, dirumuskan dalam peribahasa, “Guru, ratu, dan orang tua wajib disembah” yang berasal dari Jawa, tetapi kemudian dipopulerkan melalui sekolah yang didirikan Pemerintah Hindia Belanda. Maksud peribahasa itu ialah setiap orang (rakyat) wajib menghormati guru, ratu, dan orang tua. “Guru” yang tadinya mungkin mempunyai arti pendeta, kiai, empu, dibumikan menjadi pegawai Pemerintah Hindia Belanda yang tugasnya berdiri di depan kelas mengajar murid. “Ratu” adalah Ratu Kerajaan Belanda yang diwakili pejabat yang menjadi kaum priayi. Jelas peribahasa itu hendak mempertahankan ketenteraman masyarakat melalui lembaga “guru” (yang memberi bimbingan ilmu) dan “ratu” (yang mengatur pemerintahan), sedangkan “orang tua” menjadi hal paling akhir. Nilai-nilai yang ditanamkan dan diwariskan oleh orang-orang tua itu adalah nilai-nilai yang cocok dengan ajaran feodal yang menunjang kepentingan dan kelestarian penjajahan. Ajaran itu disebarkan secara lebih intensif melalui sekolah-sekolah yang didirikan Pemerintah Hindia Belanda.

Sekolah yang didirikan Pemerintah Hindia Belanda ada beberapa macam :
a.Sekolah untuk orang Belanda (Eropa) atau elite pribumi dengan bahasa pengantar bahasa Belanda, seperti ELS, HIS, MULO, AMS, dan HBS. Di sekolah ini, sejak dini para siswa diperkenalkan dengan sumber budaya Belanda (Eropa), yaitu budaya Yunani dan di tingkat sekolah lanjutan tingkat atas (AMS dan HBS) mereka belajar bahasa Latin, sedangkan sebelumnya mereka sudah diperkenalkan dengan mitologi dan drama-drama Yunani. Mereka juga diharuskan membaca buku-buku karya sastra klasik dan modern, bukan saja dalam bahasa Belanda, tetapi juga dalam bahasa modern Eropa lain, seperti Inggris, Perancis, dan Jerman. Dengan demikian, para siswa mengenal betul sumber budaya Eropa dan kekayaan rohani budaya Eropa modern ,seperti tampak dalam karya-karya tulisnya (tidak hanya karya sastra). Dengan demikian, tamatan sekolah lanjutan tingkat atas (AMS dan HBS) sudah menguasai dengan baik sumber-sumber budaya Barat.
b.Sekolah untuk orang asing Timur, seperti Tionghoa, India, dan Arab, seperti HCS (Holands Chineesche School) yang selain menggunakan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar juga mengajarkan bahasa China secara intensif. Para siswa pun mempelajari sumber budayanya, yaitu sumber budaya China. Mereka belajar bahasa China dan membaca karya-karyanya dalam bahasa itu sehingga mereka mengenal dengan baik karya-karya budaya klasik China.
c.Sekolah untuk orang pribumi, seperti sekolah desa tiga tahun, Sekolah Angka II (lima kemudian enam tahun), sekolah sambungan (schakel school), sekolah guru (normaal school) yang menggunakan bahasa pengantar bahasa daerah atau bahasa Melayu. Sekolah-sekolah pribumi ini didirikan Pemerintah Hindia Belanda terutama untuk mencukupi kebutuhannya akan tenaga-tenaga administrasi murahan dalam rangka eksploitasi kolonialnya. Karena itu, pelajaran yang diajarkan di sini amat sederhana, yaitu membaca, menulis, dan berhitung. Dalam kurikulumnya, tak ada pelajaran tentang kekayaan budaya yang menjadi sumber hidup dan masyarakatnya. Dengan demikian, para siswa yang belajar di sekolah-sekolah pribumi tidak dianggap perlu mengenal dan mengetahui sumber budaya warisan leluhurnya sendiri.

Saat Indonesia merdeka, yang dilanjutkan Pemerintah Indonesia adalah jenis sekolah untuk kaum pribumi, bukan model sekolah untuk orang Belanda atau Eropa. Mungkin karena semangat zaman yang serba anti penjajahan barat, kebudayaan barat dengan serta-merta dikutuk dan diharamkan orang. Seharusnya memang bukan ELS, HIS, MULO, AMS, atau HBS yang harus dilanjutkan, tetapi model sekolah itu telah terbukti amat efisien dan efektif menjadi wadah pewarisan budaya yang menjadi sumbernya. Modelnya sama, tetapi isinya harus disesuaikan dengan sumber budaya Indonesia.

Pemerintah Indonesia melanjutkan model sekolah untuk pribumi, yang dalam kurikulumnya ditambah sejarah nasional, ilmu bumi nasional, dan pelajaran berbagai ilmu yang dianggap perlu, tetapi tidak ada pelajaran yang menyebabkan si siswa mengenal sumber budayanya. Tidak ada yang menganggap perlu, anak didik yang akan menjadi pewaris negara dan Bangsa Indonesia mengenal dengan baik sumber budayanya. Akibatnya, anak-anak Jawa terputus dengan sumber budaya Jawa, anak-anak Sunda terputus dengan sumber budaya Sunda, anak-anak Bugis terputus dengan sumber budaya Bugis, anak-anak Aceh terputus dengan sumber budaya Aceh, dan seterusnya. Memang ada pelajaran tentang Pancasila yang dianggap hasil galian dari bumi sendiri sejak sekolah dasar hingga perguruan tinggi, tetapi isinya lebih merupakan indoktrinasi dan hafalan.

Kini setelah hampir 60 tahun Indonesia merdeka, Indonesia tiba-tiba terkejut melihat anak-anak bangsa tidak mengenal kekayaan budaya nenek moyangnya. Padahal Indonesia selalu membanggakan diri dan menggembar-gemborkan kekayaan ragam budaya tradisi kita. Kurikulum di Indonesia memasukkan segala macam pelajaran untuk ditelan oleh anak didik secara berlebihan, tetapi mengenai sumber budayanya amat minim. Baru beberapa tahun terakhir ada pelajaran muatan lokal yang biasanya digunakan untuk memperkenalkan kesenian dan bahasa daerah setempat kepada anak didik, tetapi kedudukannya dalam kurikulum tidak termasuk penting, bahkan Bahasa Inggris dianggap jauh lebih penting. Hal ini salah satu faktor yang menyebabkan Indonesia kehilangan identitasnya sebagai bangsa yang berbudaya negeri sendiri.

2. Kajian pendidikan & kebudayaan dalam perspektif sosiologi

Menurut Paul B. Horton, mobilitas sosial adalah suatu gerak perpindahan dari satu kelas sosial ke kelas sosial lainnya atau gerak pindah dari strata yang satu ke strata yang lainnya. Menurut Kimball Young dan Raymond W. Mack, mobilitas sosial adalah suatu gerak dalam struktur sosial yaitu pola-pola tertentu yang mengatur organisasi suatu kelompok sosial. Struktur sosial mencakup sifat hubungan antara individu dalam kelompok dan hubungan antara individu dengan kelompoknya.

Pada dunia modern, banyak orang berupaya melakukan mobilitas sosial. Adanya suatu keyakinan bahwa hal tersebut akan membuat orang menjadi lebih bahagia dan memungkinkan mereka melakukan jenis pekerjaan yang peling cocok bagi diri mereka. Bila tingkat mobilitas sosial tinggi, meskipun latar belakang sosial berbeda. Mereka tetap dapat merasa mempunyai hak yang sama dalam mencapai kedudukan sosial yang lebih tinggi. Bila tingkat mobilitas sosial rendah, tentu saja kebanyakan orang akan terkukung dalam status nenek moyang mereka. Mereka hidup dalam kelas sosial tertutup.

Mobilitas sosial lebih mudah terjadi pada masyarakat terbuka karena lebih memungkinkan untuk berpindah strata. Sebaliknya, pada masyarakat yang sifatnya tertutup kemungkinan untuk pindah strata lebih sulit. Contohnya, masyarakat feodal atau pada masyarakat yang menganut sistem kasta. Pada masyarakat yang menganut sistem kasta, bila seseorang lahir dari kasta yang paling rendah untuk selamanya ia tetap berada pada kasta yang rendah. Dia tidak mungkin dapat pindah ke kasta yang lebih tinggi, meskipun ia memiliki kemampuan atau keahlian. Karena yang menjadi kriteria stratifikasi adalah keturunan. Dengan demikian, tidak terjadi gerak sosial dari strata satu ke strata lain yang lebih tinggi.

Terdapat berbagai saluran mobilitas sosial yang dapat ditempuh, jika seseorang ingin melakukan mobilitas sosial vertikal ke atas. Saluran-saluran itu adalah :
a.Angkatan bersenjata.
Angkatan bersenjata merupakan salah satu saluran mobilitas sosial. Angkatan bersenjata merupakan organisasi yang dapat digunakan untuk saluran mobilitas vertikal ke atas melalui tahapan yang disebut kenaikan pangkat. Misalnya, seorang prajurit yang berjasa pada negara karena menyelamatkan negara dari pemberontakan, ia akan mendapatkan penghargaan dari masyarakat. Dia mungkin dapat diberikan pangkat/kedudukan yang lebih tinggi, walaupun berasal dari golongan masyarakat rendah.
b.Lembaga-lembaga keagamaan.
Lembaga-lembaga keagamaan dapat mengangkat status sosial seseorang, misalnya yang berjasa dalam perkembangan Agama seperti ustad, pendeta, biksu dan lain lain.
c.Lembaga pendidikan.
Lembaga-lembaga pendidikan pada umumnya merupakan saluran yang konkret dari mobilitas vertikal ke atas, bahkan dianggap sebagai social elevator (perangkat) yang bergerak dari kedudukan yang rendah ke kedudukan yang lebih tinggi. Pendidikan memberikan kesempatan pada setiap orang untuk mendapatkan kedudukan yang lebih tinggi. Contoh: Seorang anak dari keluarga miskin mengenyam sekolah sampai jenjang yang tinggi. Setelah lulus ia memiliki pengetahuan dagang dan menggunakan pengetahuannya itu untuk berusaha, sehingga ia berhasil menjadi pedagang yang kaya, yang secara otomatis telah meningkatkan status sosialnya.
d.Organisasi politik.
Seperti angkatan bersenjata, organisasi politik memungkinkan anggotanya yang loyal dan berdedikasi tinggi untuk menempati jabatan yang lebih tinggi, sehingga status sosialnya meningkat.
e.Organisasi ekonomi.
Organisasi ekonomi (seperti perusahaan, koperasi, BUMN dan lain-lain) dapat meningkatkan tingkat pendapatan seseorang. Semakin besar prestasinya, maka semakin besar jabatannya. Karena jabatannya tinggi akibatnya pendapatannya bertambah. Karena pendapatannya bertambah akibatnya kekayaannya bertambah. Dan karena kekayaannya bertambah akibatnya status sosialnya di masyarakat meningkat.
f.Organisasi keahlian
Seperti di wikipedia ini, orang yang rajin menulis dan menyumbangkan pengetahuan/keahliannya kepada kelompok pasti statusnya akan dianggap lebih tinggi daripada pengguna biasa.
g.Perkawinan
Sebuah perkawinan dapat menaikkan status seseorang. Seorang yang menikah dengan orang yang memiliki status terpandang akan dihormati karena pengaruh pasangannya.
Pendidikan dianggap merupakan salah satu media mobilitas sosial yang cukup potensial, walaupun pada kenyataannya hal ini juga sulit dilakukan di Indonesia.

Sistem sekolah seharusnya mampu memobilisasi masyarakat secara vertikal. Artinya, masyarakat memperoleh nilai tambah dari pendidikan persekolahan yang diikutinya. Bahkan bukan sekadar nilai tambah, tetapi bisa memberikan kehidupan yang lebih baik dibandingkan dengan kondisinya sebelum mengikuti persekolahan. Pada kenyataannya masyarakat dari kelompok yang kurang beruntung (miskin secara ekonomi) sulit untuk bergerak vertikal melalui sistem pendidikan (sekolah).

Sistem pendidikan (sekolah) seharusnya dapat memobilisasi masyarakat miskin menjadi lebih baik. Meningkatkan mutu kehidupan dan martabat manusia. Ini menjadi tanggung jawab pemerintah untuk membangun lingkungan pendidikan dengan kualitas yang sama bagi semua rakyat untuk membangun bangsa. Hasil dari sistem persekolahan seharusnya mampu memberikan sumbangan bagi kemajuan kebudayaan. Institusi sekolah seharusnya dapat berperan untuk melestarikan nilai yang berkembang dan membudaya dalam masyarakat. Nilai ini tidak hanya kebudayaan ilmu pengetahuan, tetapi juga bidang sosial, budaya, dan ekonomi.

3. Kajian pendidikan & kebudayaan dalam perspektif filsafat

Filsafat sebagai usaha tertib, metodis, yang dipertanggungjawabkan secara intelektual untuk melakukan apa yang sebetulnya diharapkan dari setiap orang yang tidak hanya mau membebek saja, yang tidak hanya mau menelan mentah-mentah apa yang sudah dikunyah sebelumnya oleh pihak-pihak lain. Yaitu untuk mengerti, memahami, mengartikan, menilai, mengkritik data-data, dan fakta-fakta yang dihasilkan dalam pengalaman sehari-hari dan melalui ilmu-ilmu. Filsafat sebagai latihan untuk belajar mengambil sikap, mengukur bobot dari segala macam pandangan yang dari pelbagai penjuru ditawarkan kepada kita.

Filsafat akan membuka pandangan orang tentang fisik saat suatu pembangunan hanya mementingkan kerohanian saja. Kalau pembangunan hanya material dan hanya mengenai prasarana-prasarana fisik saja, filsafat akan bertanya sejauh mana pembangunan itu akan menambah harapan manusia kongkrit dalam masyarakat untuk merasa bahagia. Kalau berbagai otoritas dalam masyarakat mau mewajibkan sesuatu kepada anggotanya, filsafat dapat membantu dalam mengambil sikap yang dewasa dengan mempersoalkan hak dan batas berbagai otoritas untuk mewajibkan sesuatu.

Terhadap ideologi kemajuan akan dipersoalkan apa arti maju bagi manusia. Orang yang mau mengekang kebebasan atas nama Tuhan yang Maha Esa, filsafat akan menarik perhatian pada fakta bahwa yang mau mengekang itu hanyalah manusia saja yang mengatasnamakan Tuhan, dan bahwa Tuhan tidak pernah identik dengan suara manusia begitu saja. Kalau suatu rezim fanatik mau membawahkan segala nilai pada kemegahan negara saja, filsafat dapat saja menunjuk pada seorang filsuf yang dua ribu tahun yang lalu telah berpikir ke arah itu, yaitu Plato, dan bagaimana dia dilawan oleh seorang filsuf lain zaman itu, yaitu Aristoteles.

Berpikir filosofis, sesungguhnya adalah berpikir dengan dasar cinta akan kebijaksanaan. Bijaksana adalah sifat manusia yang muncul sebagai hasil dari usahanya untuk berpikir benar dan berkehendak baik. Berpikir benar saja ternyata belum mencukupi. Dapat saja orang berpikir bahwa memfitnah adalah tindakan yang jahat, tetapi dapat pula ia tetap memfitnah karena meskipun diketahuinya itu jahat, namun ia tidak menghendaki untuk tidak melakukannya. Cara berpikir yang filosofis adalah berusaha untuk mewujudkan gabungan antara keduanya, berpikir benar dan berkehendak baik. Sedangkan, “mempunyai filsafat hidup” diartikan mempunyai suatu pandangan, seperangkat pedoman hidup atau nilai-nilai tertentu. Misalnya, seseorang mungkin mempunyai filsafat hidup bahwa “tujuan menghalalkan cara”.

Filsafat mencoba mengembalikan hakekat pendidikan sebagai suatu hal yang khas milik manusia. Pendidikan merupakan suatu hal yang khas, karena dibuat oleh manusia, dilakukan manusia, untuk manusia, dalam rangka memanusiakan manusia. Pendidikan adalah ciri khas manusia. Pendidikan membedakan manusia dengan makhluk lainnya. Hewan dapat diajar, namun tidak dapat dididik. Pengajaran hanya menyangkut masalah pengetahuan dan ketrampilan saja. Pendidikan mengandung arti lebih kompeks dibanding pengajaran, karena tidak saja menyangkut masalah pengetahuan dan ketrampilan saja, tetapi juga menyangkut masalah sikap/perilaku.

Filsafat juga mencoba mengembalikan hakekat kebudayaan sebagai suatu hal khas yang juga hanya dimiliki oleh manusia, karena hanya manusialah yang berbudaya. Budaya berasal dari kata “budhi” yang berarti akal dan kata “dhaya” yang berarti kemampuan. Aristoteles memandang manusia adalah “animal rationale” Karena, menurutnya, ada tahap perkembanganyang dimulai dari benda mati lalu tumbuhan lalu binatang lalu manusia.

Menurut Aristoteles :
a.Tumbuhan = benda mati + hidup, tumbuhan memiliki jiwa hidup.
b.Binatang = benda mati + hidup + perasaan, binatang memiliki jiwa perasaan.
c.Manusia = benda mati + hidup + akal, manusia memiliki jiwa rasional.
Jadi dapat disimpulkan dari pendapat Aristolteles tersebut bahwa kebudayaan adalah hanya dimiliki oleh manusia.



C. Penutup

Pada saat pendidikan dan kebudayan dikaji berdasarkan sudut pandang (perspektif) sejarah maka yang ditelaah adalah tentang asal mula pendidikan dan kebudayan itu. Pada saat pendidikan dikaji berdasarkan sudut pandang (perspektif) sosiologi maka yang ditelaah adalah tentang tujuan pendidikan dan kebudayan itu. Pembahasan pendidikan dan kebudayan dari perspektif filsafat sebenarnya lebih untuk membuat suatu refleksi yang mendalam tentang asal mula dan tujuan dari keterkaitan antara pendidikan dengan kebudayaan di dalam masyarakat. Masyarakat adalah wadah tempat pendidikan dan kebudayaan itu berlangsung. Baik pendidikan maupun kebudayaan, keduanya sama-sama merupakan hal khas yang hanya dimiliki oleh manusia, karena itu keduanya harus mampu memanusiakan manusia.